Studi Islam di Banten Masa Kolonial: Antara Ilmu Pengetahuan dan Catatan Spionase

Sumber Gambar :
Guru Besar Kajian Islam di Asia Tenggara Prof Nico J.G Captain memaparkan materi pada diskusi “Research on Islam in Indonesia” di Untirta, Selasa (2/7).

Permulaan studi keislaman di Banten tidak lepas dari praktik kolonialisme. Literaturnya tumbuh dalam bingkai akademik sekaligus catatan spionase yang menjadi rujukan kebijakan pemerintah kolonial.

“Penelitian tentang studi Indonesia dan keislaman masih didominasi oleh peneliti-peneliti Belanda,” kata guru besar kajian Islam di Asia Tenggara pada Universitas Leiden, Belanda, Profesor Nico J.G Captain, pada diskusi publik bertajuk ‘Research on Islam in Indonesia’ di Aula Untirta pada Selasa (2/7) lalu.

Pada diskusi yang diinisiasi Perkumpulan Urang Banten (PUB), Prof Nico lantas menyebut beberapa nama peneliti Belanda. Salah satunya, Christiaan Snouck Hurgronje, sosok peneliti yang dinilainya paling berpengaruh pada masanya. “Snouck merupakan tokoh penting yang telah mencatat berbagai peristiwa di Indonesia pada masa kolonial,” kata Prof Nico.

Sosok yang meraih gelar doktor pada usianya baru 23 tahun itu, dinilai Prof Nico penuh inspiratif sekaligus kontroversial. Penelitian yang dilakukan Snouck tentang Islam di Indonesia (dulu Hindia Belanda) juga Aceh, tak hanya sekadar untuk kepentingan akademik. Ia juga melakukan peran ganda sebagai agen rahasia atau spionase Belanda.

Peran itu dilakukan tidak lepas dari tugasnya sebagai penasihat khusus  pemerintah kolonial Belanda untuk wilayah jajahan. Peran tersebut diakui  Snouck dalam surat-suratnya kepada sahabatnya yang dikutip Prof Nico.

Dalam paparan makalahnya, Prof Nico dengan gamblang menulis sepenggal tulisan yang menjadi bukti peran spionase Snouck. “Penelitian Snouck tidak hanya pendekatan wacana pengetahuan an sich, namun lebih praktis sebagai laporan untuk bahan pertimbangan kolonial di bumi jajahan,” kata Prof Nico.

Selama di Indonesia, hampir 1.400 makalah tentang situasi dan posisi Islam di Hindia Belanda serta pada layanan sipil kolonial yang ditulis Snouck. Catatan tersebut di dalamnya terekam pandangan hidup, praktik ibadah, strata sosial hingga lokal kultur masyarakat Banten. Baik yang ada di dalam Banten maupun yang berdiaspora di luar Banten.

Terlebih, pria kelahiran 8 Februari 1857 ini mampu membangun kedekatan khusus dengan para ulama. Sekira tahun 1809, ia hampir 10 hari tinggal di Menes, di Cilegon, dan beberapa daerah lain untuk menulis tentang kehidupan pesantren.

Catatannya kelak dikenal dengan buku berjudul Pesantren Report. Buku itu hasil catatannya yang berkolaborasi dengan tokoh agama dan petinggi agama setempat. Hampir setiap hari tak kurang 10 halaman Snouck menulis pengamatannya.        

Salah satu ulama yang menjadi ulasan khususnya adalah Syekh Nawawi Albantani. Snouck pun melakukan pengawasan sekaligus penelitian khusus tentang sosok asal Kecamatan Tanara, Serang, yang menjadi guru ulama-ulama di Nusantara itu.

Menyamar dengan nama Haji Abdul Ghofur, ia tinggal berseberangan dengan rumah Syekh Nawawi di Suq al-Lail, Syi’ib Ali. Rumah yang sekira, 500 meter dari kompleks Masjidil Haram yang menjadi tempat tinggal sekaligus tempat 200 murid-murid Syekh Nawawi belajar.

Selama mengintai ulama penulis 40 kitab itu pun berhasil membukukan dan menjadi buku paling fenomenal dengan judul ‘Mekka In The Latter Part of The 19th Century: Daily Life, Customs and Learning The Moeslims of the East  Indian Archepelago.’ Tidak hanya mengulas pribadi Syekh Nawawi, pada buku yang diterbitkan Leyden: Late E.J. Brill ini juga mengulas gelombang haji dari Banten dan daerah Hindia Belanda lainnya.

Berangkat dari rangkaian itu, Prof Nico menyebut, permulaan studi Islam di Indonesia tidak terlepas dari praktik kolonialisme. Literaturnya seringkali menjadi acuan dalam studi Islam di tanah air. Padahal, studi itu juga kompilasi dari catatan spionase dan intelijen Belanda mengenai kondisi masyarakat jajahan.

Menurut peneliti senior dari KITLV itu, karya monumental Snouck dan peneliti orientalis lainnya, dianggap berjasa bagi perkembangan studi Islam di Indonesia, juga Banten sebagai salah satu basis ulama dan pesantren di Indonesia.

Selaku penyelenggara, Ketua PUB Taufiequrachman Ruki menyatakan, keberadaan orang Belanda di Banten melalui praktik kolonialisme tidak hanya menjadi masa lalu yang kelam. Pendudukan Belanda di tanah air juga telah mendokumentasikan khazanah pengetahuan, khususnya di bidang kajian Islam.

Kejayaan Banten di masa lalu, menurutnya, bukan semata untuk dikenang. Generasi muda di Banten memiliki beban moral mengembalikan kejayaan Banten dalam konteks kekinian. “Jangan bicara lagi soal kejayaan Banten di masa lalu. Kita harus kembalikan kejayaan Banten tersebut di masa kini,” kata Ruki .

Sumber : https://www.radarbanten.co.id/studi-islam-di-banten-masa-kolonial-antara-ilmu-pengetahuan-dan-catatan-spionase/


Share this Post