Pelabelan Keluarga Miskin, Perlukah?

Sumber Gambar :

Oleh Maksuni

Jagat dunia maya dihebohkan dengan langkah Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang yang menggunakan pelabelan Keluarga Miskin untuk penerima bantuan sosial. Pelabelan Keluarga Miskin untuk selanjutnya disingkat KM dilakukan agar mengurangi penerima bantuan sosial pada Program Keluarga Harapan (PKH) dan  Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah  mengatakan labelisasi Keluarga Miskin sebelumnya sudah dikonsultasikan dengan Sosiolog. Karena, labelisasi tersebut tak lain untuk menghapus penerima dana sosial bagi keluarga mampu (Kabar Banten, 11/9/2019).
Dengan demikian, bantuan sosial yang dikucurkan oleh Kementerian Sosial benar-benar tepat sasaran. Penerima bantuan sosial tidak bisa dihapus dari database apabila tidak ada surat pernyataan pengunduran diri dari yang bersangkutan (penerima).
Meskipun demikian, pelabelan KM oleh Pemkot Tangerang menuai reaksi keras dari sejumlah tokoh masyarakat dan warganet di Kota Tangerang. Ada beberapa hal yang menjadi bahan kririkan. Pertama, Pemkot Serang punya data base mengenai perkembangan penerima bansos. Jika sudah tidak lagi miskin, tentu tak perlu lagi mendapatkan bantuan. Kedua, penegakan hukum juga diperlukan agar masyarakat tidak mengaku-ngaku menjadi keluarga miskin. Jandi pun menekankan, penerapan labelisasi KM ini untuk segera distop. Ketiga, adanya penerima bantuan sosial PKH yang dianggap mampu merupakan sebuah kesalahan dan kelemahan dalam pendataan ditingkat kelurahan, Kecamatan, hingga tingkat kota.

Terlepas dari pro kontra, ada sisi positifnya terkait pelabelan miskin. Yakni bahwa masyarakat memiliki rasa malu jika dilabelin miskin, padahal yang sebenarnya sudah tidak lagi. Pelabelan ini sebetulnya salah satu trik untuk menghilangkan masyarakat yang mengaku-ngaku miskin hanya untuk menadapatkan bantuan. Mental ini memang harus dihilangkan, antara lain dengan pelabelan.

Memang disisi lain, pelabelan akan kurang etis terhadap keluarga yang benar-benar miskin. Fakta bahwa memang keluarga miskin, tetapi tidak pantas jika hal itu dilabelkan. Karakter masyarakat Indonesia yang menganut budaya timur memang demikian. Makanya, program pemerintah untuk warga miskin menggunakan bahasa yang lebih halus, misalnya keluarga tidak mampu, keluarga pra sejahtera dan sebagainya. Namun rupanya bahasa halus ini menjadi celah oknum masyarakat yang mengaku-ngaku miskin.

Sebetulnya ada cara lain agar hal itu bisa dilakukan. Yakni dengan verifikasi data di lapangan yang akurat. Namun kendalanya, soal data akurat sampai sejauh ini masih menjadi persoalan. Adanya data yang dobel, tidak akurat masih sering ditemui. Padahal hal tersebut sudah dilakukan verifikasi.Tak heran, jika aparatur untuk mengindari adanya pro kontra di masyarakat banyak yang memilih membagi rata bantuan.

Tentu saja, ini menjadi tantangan pemerintah. Memastikan penerima bantuan sosial berdasarkan data yang akurat dan terverifikasi. Oleh karena itu, butuh kesadaran berbagai pihak untuk mewujudkan data penerima bantuan secara akurat.

Pertanyaannya, apakah pelabelan KM diperlukan saat ini? Penulis berpendapat masih diperlukan jika data penerima bantuan dinilai tidak akurat. Bisa juga, pelabelan bersifat sementara. Jika warga yang mengaku KM sudah terdata, maka penerima bantuan sosial yang sebenarnya bisa diganti dengan bahasa yang halus seperti Keluarga Penerima Manfaat (KPM) atau keluarga pra sejahtera.

Pelabelan KM yang dilakukan oleh Pemkot Tangerang bagian dari mendorong program bantuan sosial  terverifikasi secara lebih jelas dan efektif sehingga target penerima bantuan yang lebih tepat sasaran. Hal itu juga dalam upaya mengurangi pihak-pihak yang tidak layak menerima namun pura-pura miskin. Harapannya semua bantuan yang dikucurkan bisa tepat sasaran.  Disisi lain, yang paling penting, yakni mengubah mental masyarakat mampu tiba-tiba mengaku miskim jika ada bantuan. Hal ini terjadi pada semua program bantuan pemerintah bukan hanya program bantuan sosial saja.***

Penulis, praktisi pers


Share this Post