Museum Multatuli Jadi Referensi Pelajar

Sumber Gambar :

KEHADIRAN Museum Multatuli di kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak tak hanya memaparkan tentang sejarah. Namun juga telah menjadi bahan referensi dan pengetahuan bagi para pelajar.

Apalagi, desain gedung Museum Multatuli juga sangat kekinian, atraktif dengan ilustrasi grafis dan sentuhan. Sehingga, setiap pekan Museum Multatuli selalu ramai pengunjung.

Di museum juga banyak menawarkan banyak referensi buku bacaan, seperti edisi pertama Max Havelaar, Patung Saidjah dan Adinda, hingga podcast sejarah.

Kunjungan wisatawan ke museum terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Selain kalangan pelajar, mahasiswa juga masyarakat umum banyak yang berkunjung ke museum pertama di Lebak itu.

”Kita bersyukur, meski kehadiran museum sejarah ini belum lama berdiri. Namun, mendapat respon yang baik dari masyarakat. Itu dibuktikan dengan kunjungan masyarakat atau wisatawan ke museum yang terus meningkat,” kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Lebak, Wawan Ruswandi, Jumat (20/12/2019).

Nama Multatuli memang cukup akrab, sering didengar dalam pendidikan sejarah. Nama itu tidak lain adalah nama pena dari Edward Douwes Dekker, yang terkenal dengan bukunya yang berjudul Max Havelaar.

Sebagai Asisten Wedana atau Pembantu Bupati Lebak kala itu, pria asal Belanda tersebut mendapat hati dari masyarakat maupun para tokoh atas ‘perlawanannya’ melalui tulisan terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang secara tidak adil dan semena-mena memperlakukan rakyat Indonesia.

Wawan menjelaskan, Museum Multatuli bertempat di bangunan kuno yang dibangun sekitar 1923 yang merupakan kantor, sekaligus kediaman Wedana Lebak saat itu. Walaupun merupakan bangunan kolonial, tapi sejarah yang ditampilkan dengan sangat kekinian.

Di Museum Multatuli, sejarah dipaparkan dengan cara yang atraktif, dengan ilustrasi grafis yang modern dan sentuhan multimedia. Suasana tersebut memberi nuansa artistik yang berbeda, tidak seperti pada museum pada umumnya.

Museum Multatuli menyediakan berbagai informasi yang luas, seperti sejarah, pengetahuan, artefak, buku-buku, foto, podcast, infografis, multimedia, dan gambar. Ada tujuh ruang yang disajikan, dimana setiap ruangan mewakili periode dalam sejarah kolonialisme.

Jika dirangkum ada empat tema besar, yaitu sejarah datangnya kolonialisme ke Indonesia, Multatuli dan karyanya, sejarah Lebak dan Banten, serta perkembangan Rangkasbitung masa kini.

Begitu memasuki ruang pamer, penggalan tulisan Multatuli yang tenar “Tugas Seorang Manusia Adalah Menjadi Manusia” menyambut pengunjung.

Hal menarik lainnya, kata Wawan, adalah bagaimana tulisan-tulisan Multatuli memberi pengaruh kepada para tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia. Ini disajikan di ruang keempat dalam museum ini.

Koleksi Museum Multatuli di antaranya novel Max Havelaar edisi pertama yang masih berbahasa Prancis (1876), litografi atau lukisan wajah Multatuli, peta lama Lebak, arsip-arsip Multatuli, dan buku-buku lainnya.

Ada juga bukti fisik, surat-menyurat Multatuli dengan pejabat Hindia Belanda tentang kondisi masyarakat Lebak.

Lanjut pada bagian luar, tepatnya di depan terdapat pendopo yang umum digunakan untuk beragam kegiatan seperti misalnya pameran, seminar, bedah buku, dan berbagai aktivitas lainnya.

Sementara di sisi kiri Museum Multatuli, pengunjung bisa berinteraksi dengan patung karya pematung terkemuka Dolorosa Sinaga yaitu Patung Multatuli, Saidjah dan Adinda. Patung-patung ini yang menjadi sasaran selfie bagi para pengunjung.

Sumber : https://www.kabar-banten.com/museum-multatuli-jadi-referensi-pelajar/


Share this Post