Menyoal Minimnya Ruang Publik di Ibu Kota Provinsi Banten

Sumber Gambar :

Keberadaan ruang publik atau fasilitas publik seperti fasilitas umum dan fasilitas sosial dalam penataan pembangunan kota sangat penting.

Namun seringkali karena modernisasi seringkali ruang publik menjadi tergusur karena demi kepentingan ekonomi dan lainnya.

Tak sedikit kota-kota di Indonesia, termasuk di Banten mulai menghadapi problem makin sedikitnya ruang publik yang tersedia.

Minimnya ruang publik, cukup mengkhawatirkan karena menyangkut kebebasan berekspresi, kreativitas bagi generasi mendatang serta mencegah terjadinya berbagai persoalan sosial.

Namun tampaknya problem minimnya ruang publik belum menjadi perhatian serius pemerintah daerah dalam membuat kebijakan.

Perubahah atau pengusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lebih mengikuti pada aspek kepentingan ekonomi. Sementara aspek lain seperti penghijauan, ruang terbuka hijau maupun ruang publik kurang ngotot diperhatikan.

Salah satu contoh, ada developer yang membuat kawasan perumahan yang tidak menaati untuk menyediakan fasilitas umum dan sosial.

Keberadaan ruang publik mulai tergusur saat sebuah daerah mengalami kemajuan secara ekonomi. Konsep RTRW tempo dulu setiap desa dengan konsep kantor pemerintahan desa, tempat ibadah, lapangan sekolah dan lainnya kini sudah hampir pudar.

Penulis dan budayawan HD Halim saat dialog publik dengan tema “Membangun Ruang Publik yang Ramah dan Kreatif” di Sultan Centre, Sabtu (18/6/2022), menuturkan, urbanisasi sering kali jadi kambing hitam dalam buruknya penataan kota. Padahal kata dia, sesungguhnya yang menjadi problem adalah tidak adanya ruang antara, yang menjadi titik temu dan berekspresi mereka dalam berbagai hal.

Ia menilai salah satunya Kota Serang yang dianggap telah mengalami degradasi kualitas secara ekosistem. Dengan status ibu kota Provinsi Banten, semua perkantoran terpusat di kota.

Semestinya ada perubahan paradigma pengembangan tata kota, tidak lagi terpusat tetapi diarahkan ke kawasan pinggiran.

Dengan paradigma ini maka setidaknya penataan dan pengembangan kota akan menciptakan ruang antara yang dampaknya mengurangi problem kota seperti kemacetan, polusi, dan baik dalam pertumbuhan ekonomi.

Usulan Halim HD yang mendorong pemegang kebjakan atau kepala daerah meninjau kembali master plan kota seperti melakukan penghijuan kota, ruang terbuka hijau, ruang publik seperti taman dan sebagainya.

Selain itu,  menciptakan ruang publik secara desentering ke wilayah kampung dan pinggiran sehingga pengembangan kota tidak bertumpu ke pusat kota yang makin berat menanggung kepadatan bangunan dan juga kendaraan.

Komitmen ini diwujudukan dalam perencanaan pembangunan rencana tata ruang wilayah yang berorientasi pada kepentingan publik. Jangan semua wilayah kota dijadikan daerah padat penduduk dan perkantoran, sementara di daerah pinggiran lama berkembang.

Pengembangan wilayah dari perkotaan ke pinggiran memerlukan sosialisasi dan edukasi. Selain juga perencanaan yang matang yang bisa membuat perkembangan pembangunan di pinggiran juga bisa berkembang pesat.

Model pengembangan kota di wilayah pinggiran ini sudah dilakukan sejumlah daerah hasil pemekaran dalam membangun pusat kota. Kabupaten Serang membangun kawasan pemerintahan atau Pusat Pemerintahan Kabupaten Serang di daerah pinggiran yakni di Kragilan.

Demikian juga Kawasan Pusat Pemerintah Provinsi Banten (KP3B) di Curug, Puspemkab Tangerang di Tigaraksa merupakan upaya mengembangkan pembangunan tidak berpusat ke kota.***(Maksuni, Praktisi Pers)


Share this Post