Memahami SKB Seragam dan Atribut di Sekolah
Sumber Gambar :Kasus siswi non muslim SMKN di Padang Sumatera Barat yang wajib pakai jilbab beberapa akhir Januari 2021 lalu, sempat menuai perhatian publik, baik kalangan masyarakat maupun pemerintah.
Pro
dan kontra atas kebijakan sekolah tersebut. Pemerintah langsung bertindak cepat
dengan merespon dari berbagai pandangan masyarakat.
Pemerintah
pun langsung sigap dengan membuat kebijakan. Pada Rabu, 3 Februari 2021,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama Menteri Dalam Negeri
Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah menerbitkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) terkait penggunaan seragam dan atribut di lingkungan
sekolah, Rabu, 3 Februari 2020.
Keputusan
tersebut terkait atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan,
di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
SKB
Tiga Menteri ini berdasarkan tiga
pertimbangan pertama, adalah bahwa sekolah memiliki peran penting dalam dalam
menjaga eksistensi ideologi negara kita yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, dan Keutuhan NKRI.
Dan
yang kedua, adalah bahwa sekolah dalam fungsinya, untuk membangun wawasan sikap
dan karakter peserta didik harus memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan membina dan memperkuat kerukunan
antar umat beragama.
Pertimbangan
selanjutnya adalah bahwa pakaian atau pakaian seragam, atribut bagi para murid
dan para guru adalah salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan
toleransi atas keragaman beragama.
Dari
tiga pertimbangan ini keluar SKB Tiga Menteri, dan berikut ketentuan dalam
SKB ini, 1). Mengatur sekolah negeri
yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. 2). Peserta didik, pendidik dan
tenaga kependidikan, berhak memilih antara : a. Seragam dan atribut tanpa
kekhususan agama atau. b. Seragam dan atribut dengan kekhususan agama. 3).
Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang sergam dan
atribut dengan kekhususan agama. 4). Pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib
mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan
kekhususan agama paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keputusan bersama
ini di tetapkan.
Keluarnya
SKB ini diharapkan dalam penerapan hendaklah menggunakan pendekatan yang
edukatif. Yang terpenting bagaimana sekolah memberikan ruang toleransi dalam
kehidupan beragama di sekolah. Jangan sampai dalam kehidupan antar umat
beragama ada pemaksaan terhadap simbol-simbol agama tertentu.
Dalam
SKB menteri tersebut sekolah memberi kebebasan memilih dalam penggunaan seragam
dan atribut sekolah. Artinya, sekolah memiliki pandangan dan kondisi seperti
apa yang diterapkan terhadap siswanya dalam penggunaan atribut.
Materi
tentang toleransi intern dan antar umat beragama sebetulnya sudah diajarkan
sejak bangku SD. Artinya, sekolah sudah sangat paham akan penerapan toleransi,
termasuk di lingkungan sekolah.
Oleh
karena itu, terbitnya SKB tiga menteri,
harus dipahami dalam rangka upaya menjaga nilai-nilai toleransi tersebut di
sekolah. Setiap kegiatan pembelajaran di sekolah harus berjalan dalam suasana
sebagai satu bangsa yang menghargai akan kebhinekaan, menjunjung tinggi
toleransi, sehingga tercipta kehidupan yang rukun dan damai.*** (Maksuni,
Praktisi Pers)