Memahami Revisi Aturan PPKM Darurat Mengenai Tempat Ibadah
Sumber Gambar :Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM Darurat) Jawa-Bali mendapat sorotan berkenaan dengan aturan peniadaan kegiatan peribadatan di tempat ibadah.
Aturan tersebut menjadi pro
kontra di masyarakat karena ada yang memahaminya sebagai penutupan tempat
ibadah. Terhadap berbagai reaksi masyarakat, Kemendagri kemudian melakukan
revisi terhadap aturan PPKM Darurat Jawa-Bali terutama yang berkaitan dengan
diktum ketiga.
Revisi tersebut tertuang
dalam Instruksi Mendagri No.19 Tahun 2021 tentang perubahan ketiga Instruksi
Mendagri No.15 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat Jawa-Bali.
Instruksi Mendagri yang
ditandatangani 9 Juli 2021 ditandatangani Mendagri Muhammad Tito Karnavian.
Revisi Instruksi Mendagri
ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota agar melaksanakan diktum ketiga
huruf g dan k.
Huruf g yakni tempat ibadah
(masjid, mushala, gereja, pura, vihara, klenteng atau tempat ibadah lainnya
yang difungsikan sebagai tempat ibadah tidak mengadakan kegiatan
peribadatan/kegiatan berjamaah selama masa penerapan PPKM Darurat Jawa-Bali dan
mengoptimalkan pelaksanaan ibadah di rumah.
Sedangkan huruf k
pelaksanaan resepsi pernikahan ditiadakan selama PPKM Darurat.
Dalam penjelasannya
Instruksi Mendagri berlaku mulai 10-20 Juli 2021.
Perubahan aturan PPKM
Darurat terutama diktum ketiga menjadi penjelas atas berbagai pemahaman
masyarakat adanya diskriminasi aturan.
Jika yang dilarang
berkerumun, seperti kegiatan peribadatan, tetapi resepsi pernikahan dibolehkan
dengan batasan dihadiri 30 orang dan menerapkan protokol kesehatan.
Dengan adanya revisi
tersebut menunjukkan pemerintah responsif terhadap aspirasi yang berkembang.
Hal yang masih menjadi
mispersepsi di masyarakat mengenai peniadaan kegiatan peribadatan secara
berjamaah jangan dipahami sebagai penutupan tempat ibadah. Artinya fungsi
peribadatan di masjid dialihkan ke rumah.
Adanya mispersepsi
masyarakat terhadap berbagai aturan PPKM Darurat menunjukkan pola komunikasi
publik yang dijalankan pemerintah tidak berhasil, Oleh karena itu, perlunya
diksi yang tepat dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat, tidak menimbulkan multi tafsir
apalagi dianggap sebagai kalimat bersayap.
Oleh karena itu, dengan
turunnya revisi Instruksi Mendagri No 19 Tahun 2021 diharapkan gubernur, wali
kota dna bupati segera mengimplementasikan dalam perubahan surat edaran
mengenai penerapan PPKM Darurat di daerah.
Pentingnya memberikan
pemahaman secara jelas kepada tokoh agama dan masyarakat akan perubahan
Instruksi Mendagri tersebut. Aturan PPKM Darurat mengenai tempat ibadah memang
sangat sensitif sehingga memerlukan strategi komunikasi publik yang tepat
sehingga tidak menimbulkan mis informasi, mis persepi dan kesalahan dalam
pemahaman terhadap aturan PPKM Darurat.
Oleh karena itu, sosialisasi
yang masif kepada masyarakat diharapkan membuat publik dapat memahami dari
perubahan aturan tersebut sehingga polemik yang berkembang mengenai aturan PPKM
Darurat bisa diakhiri dengan kepatuhan menjalankannya demi keselamatan umat
manusia.
Apalagi pada Juli 2021 ada
Hari Raya Iduladha dan juga pelaksanaan ibadah kurban sehingga revisi aturan
mengenai PPKM Darurat harus gencar
disampaikan kepada masyarakat. Penggunaan diksi kata melarang dan meniadakan
kegiatan peribadatan berjamaah di tempat ibadah jangan dipahami sebagai
kebijakan menutup tempat ibadah. Artinya, fungsi ibadah tetap diperbolehkan,
namun untuk yang berjemaah
ditiadakan.*** (Maksuni, Praktisi Pers)