Melepas Secara Bertahap Ketergantungan Impor Kedelai

Sumber Gambar :

Peristiwa berupa aksi mogok produksi perajin tahu dan tempe yang terjadi sejak Jumat hingga Ahad, 1-3 Januari 2021 lalu merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius.

Aksi mogok produksi perajin tahu dan tempe selalu dilakukan saat harga bahan baku kedelai impor mengalami kenaikan. Mogok produksi adalah bentuk aspirasi perajin tahu dan tempe kepada pemerintah untuk bisa mengatasi persoalan tersebut.

Para perajin tahu dan tempe yang mogok produksi diantaranya dari Kota Tangsel. Mereka melakukan mogok produksi sebagai bentuk protes lantaran meningkatnya harga kedelai sebagai bahan utama pembuatan tempe.

Yang membuat mereka heran, karena nilai tukar tetap, tetapi harga kedelai malah naik.

Diketahui disparitas antara harga tempe dengan bahan bakunya telah dikeluhkan para pengrajin tempe di wilayah tersebut sejak Oktober 2020 lalu. Tingginya harga kacang kedelai membuat para perajin tempe, di wilayah tersebut ikut menjerit.

Pasalnya, harga bahan baku tempe yang kini sedang meroket, membuat omset para pengusaha tempe turun.

Aksi mogok tersebut membuka mata pemerintah dan juga pemangku kepentingan bahwa soal kenaikan harga kedelai ini menjadi hal yang serius untuk disikapi dan dicari solusi yang terbaik.

Aksi protes perajin tempe dengan mogok produksi adalah cara yang semestinya mendapat perhatian dari pemerintah maupun DPR/DPRD.

Bagaimanapun, sektor produksi tempe, termasuk sektor yang memiliki perputaran transaksi ekonomi yang cukup besar.

Persoalan harga kedelai impor yang naik, sudah bertahun-tahun belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Padahal, sebagai negara agraris semestinya kebutuhan kacang kedelai sebagai bahan baku produksi tempe bisa dipasok dari dalam negeri.

Ironisnya, hal itu masih kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah sehingga impor kedelai setiap tahun dilakukan.

Publik sejauh ini tidak mengetahui persoalan dari hulu dan hilir mengenai belum diselesaikannya impor kedelai dan pengendalian harganya sehingga seringkali memicu kenaikan harga yang membuat perajin tempe terkena imbasnya.

Para pelaku usaha produksi tahu dan tempe hanya berharap pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan DPR, DPRD proaktif dalam menyelesaikan impor kedelai yang harganya tidak bisa dikendalikan sehingga merugikan perajin tempe.

Oleh karena itu, perlu komitmen untuk secara bertahap pasokan kedelai dari luar negeri dikurangi dengan memperkuat produksi dalam negeri.

Penanganan secara bertahap dalam mengurangi impor kedelai harus dibarengi dengan penyediaan lahan pertanian untuk produksi kedelai di Indonesia. Dengan demikian, secara bertahap pasokan kedelai dalam negeri bisa bersaing dengan kedelai.

Tentu saja, dengan harga yang lebih rendah dari impor sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah dalam menciptakan iklim usaha sektor produksi kedelai yang bisa mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor.

Dengan kebijakan mengurangi impor kedelai diharapkan petani juga bisa meningkatkan penghasilannya. Perlunya pula pemerintah daerah memetakan terhadap potensi lahan pertanian yang bisa digunakan untuk lahan pertanian kedelai.

Jika setiap daerah memiliki sentra pertanian kedelai, patut dilakukan sehingga perajin tahu dan tempe di daerah bisa dipasok dari daerahnya masing-masing. Sekali lagi pentingnya kebijakan dalam mendorong suplai kedelai tidak bergantung kepada kedelai impor.*** (Maksuni, Praktisi Pers)


Share this Post