Katakan “Tidak” pada Nepotisme Jabatan

Sumber Gambar :

Oleh Maksuni

Persoalan nepotisme jabatan mencuat seiring dengan sejumlah kerabat Gubernur Riau Syamsuar dan Sekretaris Daerah Riau Yan Prana Jaya mendapat posisi penting di pemerintahan daerah tersebut.

Hal itu terungkap ketika Syamsuar melantik pejabat-pejabat Pemprov Riau yang ternyata ada menantu Syamsiar, Tika Rahmi Syahfitri, sebagai Kasubag Retribusi Bapenda Riau. Selain itu ada pula kakak kandung Yan Prana, Prasurya Darma, sebagai Sekretaris Dinas Sosial Riau dan adik kandungnya, Dedi Herman, sebagai Kepala Bidang Operasi Satpol PP Riau.

Kasus nepotisme jabatan di Riau sebetulnya juga terjadi pada sejumlah daerah lain. Bukan rahasia lagi dalam lingkungan pemda, hubungan kekeluargaan  dalam pengangkatan jabatan, masih seringkali ada. Hanya saja, hal itu tidak terekspose secara luas hanya lingkungan kerjanya saja yang tahu.

Terhadap fenomena nepotisme jabatan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo, seperti dikutip dari Antara, mengimbau prosedur kenaikan pangkat aparatur sipil negara (ASN) harus dilakukan sesuai peraturan dan kompetensi pegawai bersangkutan.

Dengan kata  lain, jangan ada KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tetapi harus semua ikuti mekanisme dengan baik, jenjangnya harus diikuti, kepangkatan jangan dikatrol, dan usia yang mau pensiun jangan dinaikkan.

 

Tjahjo juga mengingatkan kepada seluruh pejabat yang berwenang dalam proses kenaikan pangkat ASN untuk betul-betul memperhatikan kompetensi pegawai dan tidak tergoda dengan imbalan dari siapa pun, termasuk kepala daerah.

Terkait adanya dugaan kepentingan politik kepala daerah dalam proses kepangkatan dan mutasi ASN pemda, Tjahjo meminta hal itu tidak dilakukan.

 

Langkah yang dilakukan Men-PANRB patut diapresiasi, namun tidak hanya sebatas lisan, tetapi juga membuat sistem agar praktek nepotisme tidak dilakukan. Misalnya penelusuran terhadap rekam jejak ASN yang akan mendapat jabatan. Apakah yang bersangkutan betul-betul memenuhi syarat baik secara administrasi maupun kompetensi. Termasuk juga penempatan di instansi yang berbeda. Hal itu untuk menghindari adanya konflik kepentingan.

 

Meskipun demikian, harus diakui praktek nepotisme ini masih susah diberantas mengingat berlindung pada aturan normatif, semua ASN memiliki kesempatan sama dalam pengembangan jenjang karir selagi memenuhi persyaratan.

 

Selain itu, praktek nepotisme jabatan ini tumbuh subur seiring dengan diterapkannya pilkada langsung. Dampak dari pilkada ini, mengganggu sistem birokrasi, karena intervensi kepala daerah dalam penempatan pejabat sangat besar. Istilah hutang budi, atau hadiah atas kerja dalam pemenangan menjadi salah satu alasan.

Dalam kondisi ini, peran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) haru membuat sistem yang mempersempit ruang nepotisme. Disamping itu, peran masyarakat dalam melaporkan ke KASN pejabat yang diduga mendapatkan jabatan karena nepotisme harus disampaikan. Sehingga diharapkan bisa secara dini diperingatkan kepada pemda yang melakukan nepotisme jabatan.

Selain itu faktor integritas, moral dari pejabat maupun ASN berpegang teguh pada UU Pemberantasan Korupsi merupakan komitmen yang harus dijaga. Artinya dalam menghindari praktek nepotisme jabatan, tidak hanya faktor eksternal yang ditekankan, tetapi faktor internal ASN tersebut.  Inilah marwah birokrasi yang harus dijaga, bukan membirkan virus KKN makin subur.***

 

Penulis, praktisi pers

 


Share this Post