Dampak Kenaikan UMK Bagi Industri
Sumber Gambar :Oleh
Maksuni
Hengkangnya sejumlah pabrik di Banten menjadi perhatian masyarakat pada beberapa pekan belakangan ini. Salah satunya dipicu dari besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang dinilai tinggi. Selain juga faktor lain, seperti iklim usaha yang sepi dan juga faktor lingkungan.
Ketua Departemen Lobby dan Humas Konfederasi Serikat Buruh seluruh Indonesia (KSBSI), Andy William Sinaga mengatakan, pabrik yang berpindah-pindah untuk mencari upah rendah berakibat pada ketidakstabilan ekonomi di masyarakat. (Kabar Banten, 19/11/2019).
Menurut dia, persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan cara mengkaji ulang UU Nomor 13 Tahun 2003. Yakni perlunya restrukturisasi sistem pengupahan di Indonesia. Harus ada kajian mendalam tentang pengupahan ini karena kan trennya terus berulang. Jika dibiarkan, maka kalau di satu daerah dinilai upahnya tinggi, maka industri akan relokasi ke wilayah yang upahnya kecil.
Apa yang disampaikan Andy, hal yang logis, karena akar masalah pabrik hengkang, tak bisa dipisahkan dari persoalan upah. Oleh karena itu, kita sepakat pembahasan terkait upah ini dilakukan dengan bipartit atau hanya pihak perusahaan dan buruh saja. Buruh bisa menjelaskan secara terbuka kondisi keuangan perusahaan dan para pengusaha mendapat aspirasi keinginan buruh.
Memang
mencapai kesepakatan antara pengusaha dan buruh bukan perkara mudah. Oleh
karena itu, disini lah peran pemerintah mampu menjebatani perbedaan pandangan
buruh dan pengusuh dengan mengambil jalan tengah. Jika pun masih buntu, maka
pemerintah mesti mencari alternatif atau solusi lain.
Beberapa hal yang bisa menjadi jalan tengah, bagaimana pemerintah memberikan kebijakan-kebijakan kepada industri yang tidak memberatkan. Sehingga hal itu menjadi hal yang bisa mengurangi beban pengusaha, tetapi disisi lain, sebagian aspirasi kalangan buruh terpenuhi.
Dalam berbagai kasus penetapan UMK setiap tahun, rapat penetapan UMK yang buntu banyak terjadi. Dalam kaitan ini, pemerintah daerah harus aktif dan melakukan komunikasi intensif dengan buruh maupun pengusaha. Tentu saja, komunikasi tidak hanya saat menjelang penetapan UMK saja, tetapi pada waktu-waktu yang lain sehingga eskalasi kalangan buruh maupun pengusaha tidak saklek, kukuh pada pada aspirasinya masing-masing.
Dalam kaitan ini, sebagaimana disampaikan Gubernur Banten Wahidin Halim buruh serta pengusaha harus menjaga hubungan harmonis dalam menjalin kerja sama yang saling menguntungkan. Dengan begitu, persoalan pabrik hengkang dapat diantisipasi.
Selain itu,
kita juga berharap pemprov dan kabupaten/kota membuat program dalam rangka
menjaga hubungan harmonis buruh dan pengusaha dalam kegiatan yang produktif dan
berdaya. Artinya, program pemberdayaan ekonomi harus juga diarahkan pada sektor
keluarga kalangan buruh. Seperti dalam bentuk usaha mikro dan kecil berupa
industri rumahan dan sebagainya. Dengan demikian, secara tidak langsung ini
mengatasi dampak dari penetapan UMK. Selagi buruh sejahtera, maka tuntutan UMK
tinggi bisa diredam.***
Penulis, jurnalis
Kabar Banten